9 Nov 2015

Sakit Gigi (bagian dua)

Selama sakit gigi, banyak hal yang menyebalkan selain susah makan dan susah tidur penulis sendiri susah dalam melakukan kegiatan yang biasa penulis lakukan yakni bersepeda ketempat beraktifitas. Bukannya kenapa soalnya penulis sebel aja sama tuh sepeda yang giginya bisa dioper-oper semaunya, sementara gigi penulis lagi sakit. Belum lagi karena SSB (sentuh sakit banget) pada bagian gigi, penulis jadi kesulitan untuk memakai helm sepeda yang penulis miliki, bukannya apa soalnya helmnya kecil dan tali helmnya ngepress di pipi sehingga menekan area yang sakit itu.

Akhirnya hari untuk perawatan gigi sesi kedua datang juga, dan penulis pun kembali menuju kursi penyiksaan itu (baca cerita bagian pertama kalau mau tau lebih jelasnya). Ternyata pada diperiksa ulang ada permasalahan yakni akar gigi yang bermasalah itu retak atau split (temennya kokakola), sehingga tidak mungkin dilakukan perawatan lanjutan dan dengan terpaksa harus dicabut giginya.


Ilustrasi di Tempat Kejadian Perkara


Dari pengalaman cabut gigi sebelumnya, pada saat proses pencabutan gigi itu horor. Mulut penulis harus dibuka selebar-lebarnya lalu gusi-gusi disuntik untuk pembiusan lokal. Gak cuma sampai disitu, setelah bius bekerja diambillah tang untuk mencabut giginya. Ukuran tang nya sih gak besar-besar amat , tapi pada saat proses pencabutannya itu bunyinya seperti suara derakan yang keras banget mirip kaya suara kayu yang patah. Dan proses pencabutannya pun gak sekaligus , bahkan sampai kepala penulis ditahan sama perawat (dan gak enaknya perawatnya itu cowok) sementara pelaku pencabutan gigi alias Dokter giginya berusaha untuk mencabut. Untungnya ada perawat, coba kalau Dokter giginya sendirian bisa kayak nyabut singkong dikebun kali ya, yang kakinya itu digunakan untuk menahan.

Setelah selesai giginya dicabut gak ada rasa sakit sama sekali, ya jelas karena udah dibius dulu sebelumnya. Coba kalau gak pakai bius, bisa-bisa ada manusia sebesar beruang yang ngamuk-ngamuk dalam ruangan praktek dokter gigi karena kesakitan. Tapi beberapa saat setelah efek dari biusnya hilang, rasa sakitnya itu luar biasa. Bahkan tingkat sakitnya itu melebihi rasa sakit sewaktu cinta ditolak sungguh itu penulis gak bohong. Soalnya penulis pernah ditolak cinta sekali (kalau orangnya sama tapi nolaknya berkali-kali, boleh dihitung sekali kan ya? soalnya cuma pengalaman menyatakaan cinta cuma sama dia aja) rasanya tuh kayak ada suatu bagian yang hilang. Sedangkan setelah dicabut gigi ini bukan cuma rasanya tapi memang beneran ada bagian yang hilang. Walau efeknya sama-sama susah tidur dan susah makan setelahnya, tetap aja lebih sakit dicabut gigi daripada ditolak cinta.

Dan sekarang pun penulis jadi sulit untuk tersenyum narsis kembali, karena salah satu elemen narsis dari penulis yaitu salah satu gigi depan sudah tidak ada. Meninggalkan luka yang membekas dalam dan perasaan yang membuat merasa gundah. Penulis pun berencana untuk memasang gigi tiruan (bukan palsu ya, tapi tiruan), soalnya gigi itu sama kayak cinta setelah tumbuh dan tercabut tak mungkin bisa tergantikan atau tumbuh lagi yang lain.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar